top of page

Rio Puttileihalat

“Setelah saya menemukan pekerjaan tetap, saya ingin menikah dan punya anak. Sehingga dalam lima tahun dari sekarang, saya bisa melihat mereka tumbuh sehat.”

Dilbuat pada: 22-05-2017
Diterbitkan pada: 30-06-2017 
Ditulis oleh: Ingrid Bremmers
Fotografer: Teresa Cancola

Suatu sore yang cerah, salah satu yang hanya bisa anda alami di Asia. Keringat menetes di wajah kami, menapaki jalan berpasir. Itu adalah wawancara pertama kami di Kaibobo dimana membuat kami sedikit gugup. Sebagian karena kami tidak tahu bagaimana komunikasi kami dengan penerjemah (Cici pada saat itu) akan terjadi nantinya. Namun yang paling penting, apakah dia akan terbuka di depan tiga orang yang disebut 'bule' (orang asing)?.

 

Ketika kami sampai di rumahnya, dua orang dari pemerintah bertanya kepada seorang wanita di mana kami bisa menemukannya. Wanita itu, terkejut dengan kunjungan kami, meneriakkan sesuatu yang tidak dapat kami mengerti. Tidak lama kemudian, seorang pria muda tampak datang. Dia membuka pintu dan mempersilahkan duduk. Pemuda berusia dua puluh delapan tahun, yang telah tinggal di Kaibobo sepanjang hidupnya, duduk di depan kami. Sepertinya dia merasa sedikit gugup. Tapi begitu Cici memulai pembicaraan, kami bisa melihat kenyamanan melalui senyumnya. Karena kenyamanan ini, ia mulai membuka diri tentang hidupnya. Dia bercerita tentang keluarganya. Tentang ia yang tinggal bersama ibunya, ayah dan keponakannya. Intinya, dia berada disana untuk menemani ibunya.

 

Setelah itu dia perlahan-lahan terus bercerita. Dia menunduk dan mengatakan bahwa dia tidak memiliki kesempatan untuk menemukan pekerjaan yang bagus. Karena kenyataan bahwa dia tidak bisa melanjutkan sekolah setelah lulus SMA karena situasi keuangan keluarga. Sekarang, dia kadang-kadang dipanggil untuk memotong kayu. Dimana hanya memberinya pekerjaan selama satu minggu dalam sebulan. Hari-hari lain dalam sebulan dia membantu orang tuanya mengangkat air dan memotong kayu. Memotong kayu adalah keahliannya . Karena di sini, di hutan, di mana dia merasa benar-benar dirinya sendiri. Sebuah tempat di mana ada keheningan. Tempat dimana dia dibawa oleh pamannya saat dia masih kecil. Disamping memiliki keahlian dalam memotong kayu, dia juga memiliki ketertarikan di agama. Dia pergi ke gereja setiap hari Minggu dan juga menjadi salah satu dari lima puluh dua anggota Generasi Pemuda Gereja di Maluku (AM-GPM) di Kaibobo.

 

Tapi kepercayaannya pada agama tidak berpengaruh pada kebahagiaan yang dia rasakan. Karena ketika kami bertanya apakah dia bisa menilai tingkat kebahagiaannya dalam skala satu sampai sepuluh (sepuluh adalah yang paling bahagia), dia menjawab dengan lima. "Lima karena saya belum menikah, saya belum punya anak dan saya tidak memiliki pekerjaan tetap. Tapi ini mudah-mudahan semuanya akan segera berubah setelah saya pindah ke Ambon Agustus ini (2017). Saya telah menemukan pekerjaan di sana”. Sebuah pekerjaan di mana dia bisa menggabungkan semangatnya memotong kayu untuk membuat perabotan. Tapi untuk melakukan ini, dia harus meninggalkan ibunya, ayah, paman dan keponakannya di Kaibobo. "Namun, selama itu akan memperbaiki masa depan saya, saya akan melakukannya. Masa depan dimana saya bisa melihat anak-anak saya tumbuh sehat dan bisa memiliki rumah sendiri. "

bottom of page